Tahlilan, Adat Atau Syariat?

Tahlilan, Adat Atau Syariat? - Fenomena yang terjadi sejak puluhan bahkan ratusan  tahun silam khususnya untuk uamt Muslim di Indonesia. Yaitu perselisihan faham yang berkaitan dengan masalah Tahlilan. Saya katakan unik karena tidak pernah ada titik temu mengenai hal ini. Baik yang pro maupun yang kontra tetap bertahan pada pendapatnya masing-masing. Namun perselisihan tersebut tidak sampai menimbulkan gesekan fisik antar keduanya. Mereka berjalan baik berdampingan saling memberikan pengertian.


TAHLILAN jika di artikan secara bahasa adalah berasal dari kata Tahlil yang artinya ucapan Lailaha ilalloh. Tetapi pengertian yang berkembang di masyarakat Tahlilan adalah kegiatan keagamaaan yang di dalamnya terdapat pengucapan tahlil/kalimat Lailaha ilalloh dan kalimat thoyibah lainya yang di maksudkan untuk mendoakan diri sendiri ataupun orang lain yang masih hidup maupun yang sudah meninggal agar di ampuni dosanya ataupun untuk dikabulkan hajatnya.


Tahlilan Menurut Muhammad Ma’ruf Khozin 


Penulis buku Tahlil Bid'ah Hasanah Berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah berpendapat bahwa Secara historis, keberadaan tahlil adalah salah satu wujud keberhasilan islamisasi terhadap tradisi-tradisi masyarakat Indonesia pr-Islam. Tradisi masyarakat Indonesia ketika ada orang meninggal dunia adalah berkumpul di rumah duka pada malam hari untuk berjudi, mabuk-mabukan dan sebagainya. Lambat laun seiring dengan Islam yang mulai menyentuh mereka, acara tersebut diisi dengan nilai-nilai keislaman yang dapat mendatangkan manfaat kepada orang yang meninggal dunia, keluarga duka, serta masyarakat secara umum. Dari sini kemudian tradisi tahlilan berkembang luas di tengah masyarakat seperti yang diamalkan oleh masyarakat saat ini.

Tradisi kumpul-kumpul yang dilakukan oleh masyarakat non-Islam dulu itu tidak dirusak dan tidak disuruh bubar begitu saja oleh penyebar agama Islam dahulu. Jika sebaliknya yang terjadi, maka entah seperti apa lagi Islam di mata masyarakat non-Islam dahulu hingga sekarang. Maka dari itu, masyarakat non-Islam yang berkumpul ketika ada acara kematian itu diubah melalui pendekatan pengaplikasian dengan nilai-nilai keislaman sebagai dakwah yang paling jitu dan tidak harus merusak yang sudah ada. Hingga akhirnya acara itu bernilai sebagaimana yang diamanatkan oleh syariat Islam.

<img src="tahlilan.jpg" alt="tahlilan">


Tahlilan Menurut Habib Munzir Al-Musawa 


Habib Munzir Al-Musawa berpendapat pula bahwa Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat - kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, asma’ul husna, shalawat dan lain - lain. Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) 

Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ? Menghadiahkan Fatihah, atau yaasiin, atau dzikir, tahlil, atau shadaqah, atau qadha puasanya dan lain - lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan nash yang jelas dalam Shahih Muslim hadits No.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat meng-hajikan untuk ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah saw pun menghadiahkan Sembelihan Beliau saw saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits No.1967). 

Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Baca Juga Artikel : Bid'ah Menurut Habib Munzir Al-Musawa